Sebagai pembuka, kita akan bahas
sebuah fenomena menarik terkait demokrasi di negeri ini. Kejadiannya terjadi
dua tahun silam. Tepat di jantung kota provinsi Sulawesi Selatan. Bulan Juli 2018
jadi tak terlupakan bagi 1,5 juta penduduk kota Makassar. Saat Komisi Pemilihan
Umum mengumumkan kemenangan kotak kosong dalam perhelatan kepala daerah disana.
Sontak khalayak terkesima dengan itu.
Berbagai analisa muncul. Semuanya bersepakat, kota Makassar menorehkan sejarah
baru dalam pesta demokrasi di Republik. Berawal dari aksi “borong” partai yang
dilakukan oleh salah satu kandidat dan “pengkondisian” kandidat lawan untuk
gagal ikut perhelatan ternyata memancing simpati publik. Bukti paling kelihatan
dari itu semua adalah akumulasi suara pada 2.670 tempat pemungutan suara
dimenangkan oleh kotak kosong.
Berbicara soal (kandidat) kotak
kosong, medan laga yang tercipta sebenarnya tidak hanya terjadi di Makassar. Dari
171 daerah yang melakukan pemilihan pada tahun 2018, terdapat 10 kepala daerah
melawan kotak kosong di tempat lain luar Makassar. Dari semua itu hanya kota
Makassar yang menang kotak kosong.
Kemenangan kotak kosong
menimbulkan banya tanda tanya. Terutama bagi partai politik. Salah satu sebab,
karena lembaga inilah yang sejak awal mendaku sebagai salah satu penentu
kualitas demokratisasi di Indonesia. Makanya jangan heran jika para analis
politik menggaungkan kegagalan dari partai politik menjalankan fungsinya. Mulai
dari kaderisasi hingga maraknya praktik politik uang jadi sumber segala
kekacauan ini.
Dari sini saya kira kita bisa
belajar. Kemenangan kotak kosong memberi kita nafas baru bahwa kedaulatan tertinggi
berada ditangan rakyat. Seharusnya para bakal calon kepala daerah dan partai
politik memiliki upaya lebih keras dalam menyiarkan pemahaman politik yang lebih
luas kepada masyarakat. Karena dengan begitu, pilihan untuk mengedepankan
kepentingan masyarakat diatas segalanya harus jadi prioritas.
Demokrasi dan Masa Depan Daerah
Jika kita lihat kembali rangkaian
kejadian 2018 hingga kotak kosong menang di Kota Makassar, sebenarnya berakar
pada dua kondisi. Simpati dan muak. Pemilik hak suara di kota yang dulu
berjuluk Ujung Pandang dipertontonkan dagelan politik oleh para elit. Satu
sisi, partai politik yang harusnya jadi tempat penetrasi pendidikan politik
yang mumpuni jadi gagal.
Aksi “beli” semua partai politik
oleh salah satu kandidat membuka mata masyarakat. Disaat bersamaan, para ketua
partai tadi lupa jika partai politik bukan pemilik suara. Hak untuk memilih
dikembalikan pada masing-masing dan penentuannya saat di bilik suara.
Belum puas dengan belanja partai,
konon, kandidat yang sama juga jadi sebab bakal calon lawan urung muncul.
Dilatari indikasi kasus korupsi, semuanya justru membikin rasa kasihan bergulir
laiknya bola salju di kota Makassar.
Selain dua hal diatas, sebenarnya
masih banyak penyebab proses demokrasi rusak di Indonesia. Salah satunya,
praktik kepemimpinan. Kita mulai dari ini, sebabnya tidak sedikit para pemimpin
atau kepala daerah yang tergoda untuk membangun dinasti di suatu daerah. Tetapi
tidak sedikit juga pemilih didaerah yang sama justru mayoritas mendukung hal
tersebut.
Belajar dari dua hal diatas, belum terlambat kiranya bagi para pemilik sah suara dalam setiap pesta demokrasi untuk memanfaatkan sebaik-baiknya suara yang dimiliki. Karena jika salah pilih, masa lima tahun menanggung akibat dari itu bagi saya terlalu lama.
Demikianlah sebuah analisis serampangan dari saya. Jika kurang berkenan, saya mohon maaf. Namanya juga analisis serampangan.
Wasalam
Komentar
Posting Komentar