Bagaimana Menghadapi Gerak Pasar?

Gambar
Saat saya menyebut kata "pasar", apa yang terlintas di kepala tuan dan puan sekalian? Kalo saya, tempat terjadinya jual-beli. Sejak manusia menemukan alat tukar bernama uang, seiring berjalannya waktu jenis pasar juga berkembang. Bahkan uang yang jadi penanda peradaban beralih dari sistem tukar-menukar, saat ini sudah juga diperjualbelikan. Inilah bukti bahwa peran pasar kian lekat dengan kita.   Klasifikasi pasar juga turut serta mengalami perkembangan. Jika mengacu pada salah satu kisah peradaban manusia karya Jared Diamond (Bedil, Kuman, dan Baja, W.W Norton, 1997), secara efektif pasar sangat berhubungan dengan keputusan manusia untuk tidak berpindah-pindah lagi. Transaksi antar kelompok yang tadinya terjadi saat kelompok lain berkunjung (kaum no maden), mendadak berubah 360 derajat. Terlebih jika beberapa kelompok tadi memutuskan menetap pada satu area atau wilayah. Pasar menjadi tempat bertukar atau barter.   Karena pasar sangat merekat dengan peradaban manusia, penemua...

Jangan Nakal kalau Bodoh





“Kalo di sekolah jangan nakal, yah”

“Jangan jadi anak nakal”

“Anak nakal itu tidak disukai”

“Kalo kamu nakal nanti kena cubit”

Dan masih banyak lagi istilah atau peringatan yang ada kata “nakal” didalamnya. Secara tidak sadar, kata yang sama kita tempatkan sedemikian rendahnya. Apa itu nakal? Kenapa tempatnya jadi rendah? Bagaimana hubungannya kata nakal dengan anak-anak?

Kenangan kecil banyak orang bisa jadi tidak lepas dari kata nakal. Laiknya merapal mantra manjur, saat melekat pada sesorang dengan serta merta berakibat pada nilai diri. Seperti sebuah cap yang sulit hilang, kata ini sedemikian menakutkan. Atau, jadi menakutkan karena lebih sering jadi ancaman ke seorang anak.

Begitulah pola budaya kita. Dari segi sinonim, kata nakal punya kawan. Bandel, badung, sulit diatur, adalah diantara karib kata nakal. Meskipun dari segi makna, komplotan ini tidak sama. Dari semuanya, “nakal” paling jamak digunakan. Entah karena lidah lebih fasih mengucapkan, saya kurang tahu pasti.

Makanya makna kata nakal dengan sendirinya mulai menurun secara kualitas.

Adalah Ki Hajar Dewantara, si bapak pendidikan, salah satu orang yang telah berupaya dengan keras “mengangkat” makna kualitatif dari kata tersebut. Tidak tanggung-tanggung, dirinya jadi contoh untuk inisasi proses tersebut. Adik dari bapak mogok nasional ini memang tidak main-main jika sudah berikrar akan sesuatu. Dua bersaudara ini sudah terkenal hingga jauh. Semua sepak terjang mereka mampu membuat pemerintah Hindia Belanda ketar-ketir.

Kita ambil contoh si bapak pendidikan. Dengan segala informasi yang dipunyai, saat keputusan akan dihukum sampai ketelinganya, tidak membuatnya gentar. Entah keberanian apa yang merasukinya, dengan penuh percaya diri sebuah syarat dia ajukan kepada panjajah waktu itu. Syaratnya juga cukup membuat kepala geleng-geleng. Saat hukuman pembuangan sudah ketuk palu pengadilan Hindia Belanda, dia “meminta” untuk memilih tempat pembuangannya. Pilhannya jatuh pada tempat pembuangan di ibu pertiwi VOC. Belanda.

Pilihan ini bukan tanpa perhitungan matang. Beliau berdalil kepada alat negara penjajah waktu itu, belanda sebagai tempat pembuangan, pemerintah Hindia Belanda setidaknya bisa menghemat untuk akomodasi. Satu sisi, dengan “dibuang” ke Belanda, akan menciptakan kesempatan kepada dirinya dalam rangka belajar seluk beluk pendidikan modern. Hasilnya bisa kita lihat hari ini. Konsep taman siswa dan segala kata-kata bertenaga seputar pendidikan adalah perpaduan antara kondisi asli Indonesia dengan konsep pendidikan modern waktu itu.

Inilah yang menurut saya konsep nakal sebenarnya. Berawal dari tulisan kritik perayaan hari jadi Belanda "Als ik een Nederlander was" (Andai aku seorang Belanda), membuat kepala dan hati Sri Ratu  Wilhelmina Helena Pauline beserta aparatnya mendidih. Akibatnya hukuman menimpa. Bukannya bersedih, justru mampu dibalik jadi sebuah kesempatan untuk memperdalam ilmu pendidikan modern. Ketika itu dia sedang menggandrungi ihwal terkait.

Ternyata kenakalannya tidak berhenti paska dibuang ke Belanda. Bersama dua sahabatnya, dia kemudian melakukan perlawanan 2.0. Bahkan, memilih jalur sepi. Melawan lewat pendidikan. Lewat senjata bernama “Taman Siswa” dia tanamkan semangat melawan. Karena itulah, jenis senjata ini luput dari radar penjajah ketika tahun 20-an.

Sebagai sebuah senjata, tentu belum lengkap jika tidak dilengkapi dengan amunisi. Dengan cerdiknya, Taman Siswa memiliki tiga amunisi mematikan ketika itu. Keluarga, perguruan (sekolah), dan perjuangan jadi paling mematikan dan mampu membikin kalang kabut pemerintah kolonial. Setelah sebelumnya dia telah mengalihbahasa lagu “Internationale” ke bahasa Indonesia, tiga amunisi tadi semakin bertenaga dan tersebar hampir merata diseluruh pemuda pergerakan ketika itu.

Inilah sebuah bentuk kenakalan paripurna. Namun satuhal yang perlu dipahami bahwa kenakalan sempurna punya satu sebab. Adalah pengetahuan yang mumpuni hal tersebut. Artinya, menjadi nakal menurut beliau suatu keharusan selama memiliki pengetahuan yang mumpuni. Sederhanya, menjadi nakal itu harus, tetapi jangan goblok/bodoh.

Sekaligus ini bisa jadi semacam cambuk untuk mereka yang mencoba nakal tetapi tidak mengetahui apa-apa. Terlebih lagi, jika hal yang dianggap pengetahuan hanya sebatas sebait kalimat atau sampul buku saja. Apalagi hanya menyerap segala informasi dari untaian kalimat pada media sosial saat ini. Betapa kosong melomponnya isi kepala mereka-mereka tadi.

Saran saya, bagi siapapun yang (akan) mencoba nakal, pastikan terlebih dahulu isi kepala masing-masing. Untuk menguji kondisi tersebut sangat mudah. Lihat saja komitmen dan konsistensinya. Jika jadi nakal hanya untuk sebuah kenyamanan, sebaiknya merasa malu lebih baik pada Ki Hajar Dewantara. Apa lagi jika yang mencoba nakal memiliki gelar kesarjanaan pendidikan. Amboi, malunya. Mau disimpan dimana ijasah bergelar Sarjana Pendidikan?

Jangan nakal kalau bodoh. Itu!  

Komentar

Total Tayangan Halaman

Postingan populer dari blog ini

Antara Kotak Kosong dan Nasib Daerah

THANOS PULANG KAMPUNG