“Kalo di sekolah
jangan nakal, yah”
“Jangan jadi anak
nakal”
“Anak nakal itu tidak
disukai”
“Kalo kamu nakal nanti
kena cubit”
Dan masih banyak lagi istilah
atau peringatan yang ada kata “nakal” didalamnya. Secara tidak sadar, kata yang
sama kita tempatkan sedemikian rendahnya. Apa itu nakal? Kenapa tempatnya jadi
rendah? Bagaimana hubungannya kata nakal dengan anak-anak?
Kenangan kecil banyak orang bisa
jadi tidak lepas dari kata nakal. Laiknya merapal mantra manjur, saat melekat
pada sesorang dengan serta merta berakibat pada nilai diri. Seperti sebuah cap
yang sulit hilang, kata ini sedemikian menakutkan. Atau, jadi menakutkan karena
lebih sering jadi ancaman ke seorang anak.
Begitulah pola budaya kita. Dari
segi sinonim, kata nakal punya kawan. Bandel, badung, sulit diatur, adalah
diantara karib kata nakal. Meskipun dari segi makna, komplotan ini tidak sama.
Dari semuanya, “nakal” paling jamak digunakan. Entah karena lidah lebih fasih
mengucapkan, saya kurang tahu pasti.
Makanya makna kata nakal dengan
sendirinya mulai menurun secara kualitas.
Adalah Ki Hajar Dewantara, si
bapak pendidikan, salah satu orang yang telah berupaya dengan keras “mengangkat”
makna kualitatif dari kata tersebut. Tidak tanggung-tanggung, dirinya jadi contoh
untuk inisasi proses tersebut. Adik dari bapak mogok nasional ini memang tidak
main-main jika sudah berikrar akan sesuatu. Dua bersaudara ini sudah terkenal
hingga jauh. Semua sepak terjang mereka mampu membuat pemerintah Hindia Belanda
ketar-ketir.
Kita ambil contoh si bapak
pendidikan. Dengan segala informasi yang dipunyai, saat keputusan akan dihukum
sampai ketelinganya, tidak membuatnya gentar. Entah keberanian apa yang
merasukinya, dengan penuh percaya diri sebuah syarat dia ajukan kepada panjajah
waktu itu. Syaratnya juga cukup membuat kepala geleng-geleng. Saat hukuman
pembuangan sudah ketuk palu pengadilan Hindia Belanda, dia “meminta” untuk
memilih tempat pembuangannya. Pilhannya jatuh pada tempat pembuangan di ibu
pertiwi VOC. Belanda.
Pilihan ini bukan tanpa perhitungan
matang. Beliau berdalil kepada alat negara penjajah waktu itu, belanda sebagai
tempat pembuangan, pemerintah Hindia Belanda setidaknya bisa menghemat untuk
akomodasi. Satu sisi, dengan “dibuang” ke Belanda, akan menciptakan kesempatan
kepada dirinya dalam rangka belajar seluk beluk pendidikan modern. Hasilnya
bisa kita lihat hari ini. Konsep taman siswa dan segala kata-kata bertenaga
seputar pendidikan adalah perpaduan antara kondisi asli Indonesia dengan konsep
pendidikan modern waktu itu.
Inilah yang menurut saya konsep
nakal sebenarnya. Berawal dari tulisan kritik perayaan hari jadi Belanda "Als ik een Nederlander was"
(Andai aku seorang Belanda), membuat kepala dan hati Sri Ratu Wilhelmina Helena Pauline beserta aparatnya
mendidih. Akibatnya hukuman menimpa. Bukannya bersedih, justru mampu dibalik
jadi sebuah kesempatan untuk memperdalam ilmu pendidikan modern. Ketika itu dia
sedang menggandrungi ihwal terkait.
Ternyata kenakalannya tidak
berhenti paska dibuang ke Belanda. Bersama dua sahabatnya, dia kemudian melakukan
perlawanan 2.0. Bahkan, memilih jalur sepi. Melawan lewat pendidikan. Lewat senjata
bernama “Taman Siswa” dia tanamkan semangat melawan. Karena itulah, jenis
senjata ini luput dari radar penjajah ketika tahun 20-an.
Sebagai sebuah senjata, tentu
belum lengkap jika tidak dilengkapi dengan amunisi. Dengan cerdiknya, Taman Siswa
memiliki tiga amunisi mematikan ketika itu. Keluarga, perguruan (sekolah), dan
perjuangan jadi paling mematikan dan mampu membikin kalang kabut pemerintah
kolonial. Setelah sebelumnya dia telah mengalihbahasa lagu “Internationale” ke bahasa Indonesia,
tiga amunisi tadi semakin bertenaga dan tersebar hampir merata diseluruh pemuda
pergerakan ketika itu.
Inilah sebuah bentuk kenakalan
paripurna. Namun satuhal yang perlu dipahami bahwa kenakalan sempurna punya satu
sebab. Adalah pengetahuan yang mumpuni hal tersebut. Artinya, menjadi nakal
menurut beliau suatu keharusan selama memiliki pengetahuan yang mumpuni.
Sederhanya, menjadi nakal itu harus, tetapi jangan goblok/bodoh.
Sekaligus ini bisa jadi semacam
cambuk untuk mereka yang mencoba nakal tetapi tidak mengetahui apa-apa.
Terlebih lagi, jika hal yang dianggap pengetahuan hanya sebatas sebait kalimat
atau sampul buku saja. Apalagi hanya menyerap segala informasi dari untaian
kalimat pada media sosial saat ini. Betapa kosong melomponnya isi kepala
mereka-mereka tadi.
Saran saya, bagi siapapun yang (akan)
mencoba nakal, pastikan terlebih dahulu isi kepala masing-masing. Untuk menguji
kondisi tersebut sangat mudah. Lihat saja komitmen dan konsistensinya. Jika
jadi nakal hanya untuk sebuah kenyamanan, sebaiknya merasa malu lebih baik pada
Ki Hajar Dewantara. Apa lagi jika yang mencoba nakal memiliki gelar kesarjanaan
pendidikan. Amboi, malunya. Mau disimpan dimana ijasah bergelar Sarjana
Pendidikan?
Jangan nakal kalau bodoh. Itu!
Komentar
Posting Komentar