Assalamu Alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Kepada yang terkasih Datuk Sutan Ibrahim Malaka,
Apa kabar tuan di atas sana? Semoga
bahagia. Pertemuan tuan dengan si janggut tebal (Karl Heinrich Marx) tentu
penuh sukacita. Apalagi jika si Kusno bergabung. Tentu sangat meriah. Amboi
indahnya.
Jadi begini tuan, saya teringat
sebuah kutipan terkenal darimu puluhan tahun silam pada buku yang pernah kau
tulis. Bunyinya “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh
pemuda”. Cukup indah dan bertenaga kalimat ini tuan. Saking kuatnya menghentak,
kutipan yang sama paling sering dipakai ketika membahas pemuda dan pergerakan
sosial.
Lewat kutipan yang sama juga,
para mahasiswa atau kaum muda sering menggaungkannya. Entah itu dalam orasi
lisan atau orasi tulisan. Sehingga dampak terlihat megah dengan sendirinya
menggenapi. Walaupun belakangan disadari antara kutipan gagah milikmu dan
maksud mereka ternyata tidak berhubungan. Salah satu sebabnya bisa jadi karena minim
literasi. Bisa jadi.
Melalui surat ini, ijinkan saya memeriksa
secara serampangan kutipan masyhur milik tuan.
Pemeriksaan saya akan dimulai
dari susunan kata. Bagi saya, kutipan milik tuan ini terlalu canggih. Bagaimana
tidak, saat kiblat dunia ketika tuan hidup, acuannya ke medan tarung ideologi sosialisme
(Stalin vs Mao Zedong), tuan muncul lain sendiri. Tidak mengacu pad Stalin
maupun Mao. Meskipun juga tidak menolak keduanya. Salah satu buktinya, kutipan
ini.
Memasukkan kata “Idealisme” dalam
kutipan tentu bukan tanpa alasan. Lagi-lagi, demi menjaga embrio dari
sosialisme itu sendiri. Hal inilah yang bagi saya bentuk pertama kecanggihan
kutipan tersebut. Bayangkan saja, saat tahun 40-an rame dengan sosialisme
(berbagai versi), dengan cukup jeli tuan mampu melihat lebih dalam. Bukan main
besar energi yang tuan keluarkan.
Hal berikut yang menarik untuk
diperiksa adalah memasukkan kata “kemewahan” dalam kutipan tersebut. Meskipun
dijembatani oleh “adalah”, bukankah kata tersebut masih ada hubungannya dengan
lawan dari Idealisme. Memahami ini membuatku sadar bentuk kecanggihan kedua kutipan
ini. Oh iya, saya lupa jika tuan penulis mahakarya “MADILOG”. Dan sebagai
peletak fondasi konsep Republik di Indonesia, mahakarya tersebut jadi kompas
pemikiran pribumi. Betapa besar jasamu, tuan.
Perkara ketiga yang juga tidak
kalah pentingnya untuk diperiksa adalah kata “pemuda”. Inilah titik krusial
sekaligus penyebab dari penggunaan kutipan ini secara jamak belakangan ini.
Seolah batasan “pemuda” pada konteks kutipan ini muncul dan “pemuda” saat ini
adalah sama. Banyak pihak tidak paham, penyebab penggunaan kata “pemuda”, “bung”,
dan “tuan” ketika era sebelum kemerdekaan. Jangan-jangan, pihak yang sama juga
tidak paham kenapa Pramoedya Ananta Toer enggan dipanggil bapak atau pak?
Makanya memaksa saya untuk lihat
semua makna dari kata-kata diatas. Sumbernya beberapa bacaan klasik. Salah satu
benang merah dari istilah-istilah; “pemuda”, “bung”, dan “tuan” ketika pra-kemerdakaan
adalah terbebas dari belenggu penjajahan. Untuk bisa mewujudkan kondisi
tersebut, yang paling pertama harus dilakukan adalah melepaskan diri sendiri
dari segala bentuk penguasaan. Tiga istilah diatas adalah solusinya. Dengan
menggunakannya, bangunan relasi kuasa jadi runtuh. Semuanya setara.
Terkhusus kutipan diatas, bagi
saya, tuan juga bermaksud sama. Pemuda bukan kelompok kelas menengah yang diisi
kelompok umur antara remaja dan dewasa. Pemuda adalah setiap orang. Terutama mereka
pemilik semangat untuk menjadi agen pendobrak segala bentuk ketimpangan. Lagi-lagi,
bentuk ketiga kecanggihan tuan munculkan.
Puncaknya pada perpaduan sembilan
kata dalam kutipan tersebut ialah pada maknanya. Idealisme seperti yang pertama
kali diperkenalkan oleh Gottfried Wilhem
Leibniz, merupakan barang mewah. Untuk itu tidak setiap orang mampu untuk
memiliki. Pun telah punya, untuk menjaganya memerlukan daya upaya yang tidak
kecil. Inilah yang bagi saya, tuan berusaha sampaikan lewat kutipan tersebut.
Karena Idealisme sesuatu yang mewah,
tentu saja memiliki kompensasi. Jika penghuni kelas menengah (mahasiswa) sering
beranggapan merekalah “penguasa” idealisme, coba periksa ketika sudah melepas
status tersebut. Gambaran paling nyata banyak tertuang dalam buku Catatan
Seorang Demonstran (Soe Hok Gie, LP3ES, 1983).
Alangkah menyedihkan, Tuan.
Mereka pemilik kemewahan tadi
bisa dengan mudah menukarnya untuk sebuah
kata “kenyamanan”. Entah itu berbentuk materi, jabatan, atau sekotak makanan
siap saji. Betapa hancurnya batasan kemewahan karena ulah mereka, tuan. Tidak
hanya itu, belum puas dengan kemewahan yang didapatkan, mereka juga tega menukar
orang lain atas nama kelompok atau organisasi.
Apakah itu salah? Bisa iya. Bisa
juga tidak. Proses tukar menukar ini sebenarnya bisa dimaklumi jika, setelah
mendapat kenyamanan bisa berhenti. Terutama pada pelabelan diri sebagai sang “idealis”.
Laiknya sebuah barang, saat idealisme sudah tergadai, yang bersangkutan tidak
berhak untuk menyandangnya. Namun jika masih tidak tahu diri, tibalah saat
dikatakan sebagai penghancur kata idealisme.
Demikianlah sebuah pemeriksaan
serampangan saya pada kutipan legendaris tuan. Kurang dan lebihnya mohon
dimaafkan. Semoga tuan berkenan. Oh iya tuan, titip salam saya buat Soe Hok Gie.
Pasti dia sudah tidak merasa sendiri lagi disana. Karena sang kakak (Arief
Budiman) sudah menyusulnya. Senang sudah hati beliau pastinya.
Akhir kata, semoga surat ini tuan
bisa baca dan jadi bahan renungan bersama. Jika dianggap tidak pantas, ini
hanya sebuah analisas serampanga, tuan. Terima kasih.
Tabik,
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya suka tulisan ini. 😊
BalasHapusTerima kasih. Sudi kiranya jika berkenan dan disukai, bagikanlah hingga jauh.
HapusTabik,