Bagaimana Menghadapi Gerak Pasar?

Gambar
Saat saya menyebut kata "pasar", apa yang terlintas di kepala tuan dan puan sekalian? Kalo saya, tempat terjadinya jual-beli. Sejak manusia menemukan alat tukar bernama uang, seiring berjalannya waktu jenis pasar juga berkembang. Bahkan uang yang jadi penanda peradaban beralih dari sistem tukar-menukar, saat ini sudah juga diperjualbelikan. Inilah bukti bahwa peran pasar kian lekat dengan kita.   Klasifikasi pasar juga turut serta mengalami perkembangan. Jika mengacu pada salah satu kisah peradaban manusia karya Jared Diamond (Bedil, Kuman, dan Baja, W.W Norton, 1997), secara efektif pasar sangat berhubungan dengan keputusan manusia untuk tidak berpindah-pindah lagi. Transaksi antar kelompok yang tadinya terjadi saat kelompok lain berkunjung (kaum no maden), mendadak berubah 360 derajat. Terlebih jika beberapa kelompok tadi memutuskan menetap pada satu area atau wilayah. Pasar menjadi tempat bertukar atau barter.   Karena pasar sangat merekat dengan peradaban manusia, penemua...

Surat Terbuka untuk Tan Malaka




Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kepada yang terkasih Datuk Sutan Ibrahim Malaka,

Apa kabar tuan di atas sana? Semoga bahagia. Pertemuan tuan dengan si janggut tebal (Karl Heinrich Marx) tentu penuh sukacita. Apalagi jika si Kusno bergabung. Tentu sangat meriah. Amboi indahnya.

Jadi begini tuan, saya teringat sebuah kutipan terkenal darimu puluhan tahun silam pada buku yang pernah kau tulis. Bunyinya “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Cukup indah dan bertenaga kalimat ini tuan. Saking kuatnya menghentak, kutipan yang sama paling sering dipakai ketika membahas pemuda dan pergerakan sosial.

Lewat kutipan yang sama juga, para mahasiswa atau kaum muda sering menggaungkannya. Entah itu dalam orasi lisan atau orasi tulisan. Sehingga dampak terlihat megah dengan sendirinya menggenapi. Walaupun belakangan disadari antara kutipan gagah milikmu dan maksud mereka ternyata tidak berhubungan. Salah satu sebabnya bisa jadi karena minim literasi. Bisa jadi.

Melalui surat ini, ijinkan saya memeriksa secara serampangan kutipan masyhur milik tuan.

Pemeriksaan saya akan dimulai dari susunan kata. Bagi saya, kutipan milik tuan ini terlalu canggih. Bagaimana tidak, saat kiblat dunia ketika tuan hidup, acuannya ke medan tarung ideologi sosialisme (Stalin vs Mao Zedong), tuan muncul lain sendiri. Tidak mengacu pad Stalin maupun Mao. Meskipun juga tidak menolak keduanya. Salah satu buktinya, kutipan ini.

Memasukkan kata “Idealisme” dalam kutipan tentu bukan tanpa alasan. Lagi-lagi, demi menjaga embrio dari sosialisme itu sendiri. Hal inilah yang bagi saya bentuk pertama kecanggihan kutipan tersebut. Bayangkan saja, saat tahun 40-an rame dengan sosialisme (berbagai versi), dengan cukup jeli tuan mampu melihat lebih dalam. Bukan main besar energi yang tuan keluarkan.

Hal berikut yang menarik untuk diperiksa adalah memasukkan kata “kemewahan” dalam kutipan tersebut. Meskipun dijembatani oleh “adalah”, bukankah kata tersebut masih ada hubungannya dengan lawan dari Idealisme. Memahami ini membuatku sadar bentuk kecanggihan kedua kutipan ini. Oh iya, saya lupa jika tuan penulis mahakarya “MADILOG”. Dan sebagai peletak fondasi konsep Republik di Indonesia, mahakarya tersebut jadi kompas pemikiran pribumi. Betapa besar jasamu, tuan.

Perkara ketiga yang juga tidak kalah pentingnya untuk diperiksa adalah kata “pemuda”. Inilah titik krusial sekaligus penyebab dari penggunaan kutipan ini secara jamak belakangan ini. Seolah batasan “pemuda” pada konteks kutipan ini muncul dan “pemuda” saat ini adalah sama. Banyak pihak tidak paham, penyebab penggunaan kata “pemuda”, “bung”, dan “tuan” ketika era sebelum kemerdekaan. Jangan-jangan, pihak yang sama juga tidak paham kenapa Pramoedya Ananta Toer enggan dipanggil bapak atau pak?

Makanya memaksa saya untuk lihat semua makna dari kata-kata diatas. Sumbernya beberapa bacaan klasik. Salah satu benang merah dari istilah-istilah; “pemuda”, “bung”, dan “tuan” ketika pra-kemerdakaan adalah terbebas dari belenggu penjajahan. Untuk bisa mewujudkan kondisi tersebut, yang paling pertama harus dilakukan adalah melepaskan diri sendiri dari segala bentuk penguasaan. Tiga istilah diatas adalah solusinya. Dengan menggunakannya, bangunan relasi kuasa jadi runtuh. Semuanya setara.

Terkhusus kutipan diatas, bagi saya, tuan juga bermaksud sama. Pemuda bukan kelompok kelas menengah yang diisi kelompok umur antara remaja dan dewasa. Pemuda adalah setiap orang. Terutama mereka pemilik semangat untuk menjadi agen pendobrak segala bentuk ketimpangan. Lagi-lagi, bentuk ketiga kecanggihan tuan munculkan.

Puncaknya pada perpaduan sembilan kata dalam kutipan tersebut ialah pada maknanya. Idealisme seperti yang pertama kali diperkenalkan oleh  Gottfried Wilhem Leibniz, merupakan barang mewah. Untuk itu tidak setiap orang mampu untuk memiliki. Pun telah punya, untuk menjaganya memerlukan daya upaya yang tidak kecil. Inilah yang bagi saya, tuan berusaha sampaikan lewat kutipan tersebut.

Karena Idealisme sesuatu yang mewah, tentu saja memiliki kompensasi. Jika penghuni kelas menengah (mahasiswa) sering beranggapan merekalah “penguasa” idealisme, coba periksa ketika sudah melepas status tersebut. Gambaran paling nyata banyak tertuang dalam buku Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok Gie, LP3ES, 1983).

Alangkah menyedihkan, Tuan.

Mereka pemilik kemewahan tadi bisa dengan mudah menukarnya  untuk sebuah kata “kenyamanan”. Entah itu berbentuk materi, jabatan, atau sekotak makanan siap saji. Betapa hancurnya batasan kemewahan karena ulah mereka, tuan. Tidak hanya itu, belum puas dengan kemewahan yang didapatkan, mereka juga tega menukar orang lain atas nama kelompok atau organisasi.   

Apakah itu salah? Bisa iya. Bisa juga tidak. Proses tukar menukar ini sebenarnya bisa dimaklumi jika, setelah mendapat kenyamanan bisa berhenti. Terutama pada pelabelan diri sebagai sang “idealis”. Laiknya sebuah barang, saat idealisme sudah tergadai, yang bersangkutan tidak berhak untuk menyandangnya. Namun jika masih tidak tahu diri, tibalah saat dikatakan sebagai penghancur kata idealisme.

Demikianlah sebuah pemeriksaan serampangan saya pada kutipan legendaris tuan. Kurang dan lebihnya mohon dimaafkan. Semoga tuan berkenan. Oh iya tuan, titip salam saya buat Soe Hok Gie. Pasti dia sudah tidak merasa sendiri lagi disana. Karena sang kakak (Arief Budiman) sudah menyusulnya. Senang sudah hati beliau pastinya.

Akhir kata, semoga surat ini tuan bisa baca dan jadi bahan renungan bersama. Jika dianggap tidak pantas, ini hanya sebuah analisas serampanga, tuan. Terima kasih.

Tabik,

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Komentar

  1. Saya suka tulisan ini. 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Sudi kiranya jika berkenan dan disukai, bagikanlah hingga jauh.

      Tabik,

      Hapus

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Postingan populer dari blog ini

Antara Kotak Kosong dan Nasib Daerah

Jangan Nakal kalau Bodoh

THANOS PULANG KAMPUNG