Puja dan puji patut kita haturkan pada bangsa ini. Sudah lebih dari setengah abad, negara dengan bentuk kepulauan ini tetap eksis. Meskipun begitu, tidak sedikit juga gelombang pernah dihadapi. Mulai saat pra, kemerdekaan, dan paska. Bahkan ancaman disintegrasi dan kekacauan jadi bagian waktu diatas.
Saat ini, kita memasuki masa paska reformasi. Momentum resesi tahun 1997 jadi penanda dan penentu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Minimal, begitu harapan para pelaku reformasi 1998. Mimpi yang muncul sejak pemberlakuan difusi partai, blokir suara media lewat "tangan" departemen penerangan, dan pemberlakuan jargon "Bapak-Anak" oleh Soeharto. Makanya berbagai upaya pernah dilakukan untuk menghentikan praktik mengekang tersebut. Hasilnya, orde baru menemui ajal.
Berbicara kejadian dalam kurun 1966-1998, sebenarnya sudah banyak orang yang pernah menguarainya. Salah satu diantaranya, Michael Van Langenberg lewat tulisan: "Analisis Orde Baru Negara Indonesia" yang diterbitkan oleh Universitas Sydney (1986). Karya Langenberg tersebut digunakan juga oleh Julia Suryakusuma sebagai kerangka utama dalam buku Ibuisme Negara (1988).
Karena kali ini penulis bukan dalam rangka membedah hubungan gender dan negara, maka kerangka utama analisis Julia Suryakusuma (JS) akan kita ulas dari persepktif negara. Terutama praktik dalam bernegara di masa Orde Baru. Karena JS memakai terminologi negara menurut Lingeberg, tentu kita akan bertanya, apa hubungannya dengan era Reformasi? Bukankah orde baru sudah runtuh? Apakah masih relevan?
Jadi begini. Dengan memakai penjelasan JS dalam bukunya, minimal kita bisa menggunakan lewat dua pendekatan. Pertama, menggunakan sudut pandang negara (Orde Baru) menurut Ligenberg dalam persepktif ilmu pengetahuan. Kedua, menariknya ke dalam konteks hari ini. Tentu saja hal tersebut dalam rangka menjawab tingkat relevansinya.
Penulis akan mulai dari aspek ilmu pengetahuan. Dalam buku setebal 162 halaman ini, JS menjelaskan secara gamblang di lembar demi lembar pembuka terkait pandangan Lingenberg soal praktik Orde Baru. Dia mulai dengan lima kata kunci aspek negara; kekuasaan, legitimasi, akumulasi, budaya, dan pembangkangan. Kelimanya bermuara pada dua hal; Presiden dan Militerisme.
Karena hal diatas pula, JS melanjutkan analisanya pada fakta kata-kata yang mengalami tumpang tindih. Diantara delapan kata yang bertumpuk secara makna sama menurut JS dalam analisis Lingeberg, saya hanya akan mengambil tiga saja. Antara lain; "ketertiban", "pembinaan", dan "stabilitas". Ketiga kata ini bagi pemerhati masalah politik tentu tidak asing lagi. Apalagi jika dihubungkan dengan praktik kekuasaan.
Ketertiban. Jika kita mengacu pada kitab suci bahasa Indonesia (KBBI), ini adalah kata berimbuhan ke-an. Dasarnya adalah tertib. Karena berimbuhan (ke-an), maka kata tersebut mengalami sedikit perubahan makna. Yang tercatat di KBBI, artinya "keadaan serba teratur baik". Berangkat dari makna itu dan ketika dihubungkan dengan kekuasaan, JS menulisnya menjadi sebuah terminologi khusus. Ketertiban yang dipahami oleh kekuasaan adalah tatanan dan kontrol yang mengunggulkan dimensi hukum dan tata tertib kekuasaan negara. Makanya, orde baru ketika itu bisa dengan mudah menjadikan orang atau kelompok tertentu penghuni jeruji besi. Selama mereka berbeda dengan keinginan penguasa. Tentu saja dalih mengganggu ketertiban akan jadi pasal karet untuk menjaring kelompok tadi.
Kata kedua yang cukup menarik dari JS adalah "pembinaan". Seperti kata pertama, ini juga sudah berimbuhan (pe-an). Kamus bahasa Indonesia mengurainya sebagai " proses, cara, perbuatan, membina". Dari aspek terminologi versi negara juga tidak jauh berbeda. Pembinaan bisa ditafsirkan sebuah (praktik) indoktrinasi, konstruksi, dan manajemen. Bahkan mobilisasi masyarakat untuk melayani kebutuhan negara. Contoh paling kelihatan kekuasaan (orde baru) untuk praktik ini lewat pelarangan beredar beberapa media massa. Departemen Penerangan akan memakai kata sedang mengalami "pembinaan" untuk sementara waktu.
Kata terakhir yang tidak kalah menarik sekaligus menakutkan ketika Orde Baru adalah "stabilitas". Jika dua kata sebelumnya alami imbuhan, yang terakhir ini adalah kata dasar. Praktik kekuasaan ketika itu memakai terminologi ini untuk pengondisian terciptanya pengembangan ekonomi. Seperti akronim Cipkon (Cipta Kondisi) milik aparat keamanan masyarakat sipil. Hal tersebut disokong penuh oleh negara. Cukup menambahkan kata "menggangu" pada diksi ini, aparat keamanan sudah punya alasan meringkus, atau bahkan menghilangkan nyawa seseorang atau kelompok.
Membaca tiga terminologi diatas tentu sangat mengerikan. Apalagi jika ada campur tangan negara didalamnya. Kemana lagi masyarakatnya akan mengadu?
Saya kira, pertanyaan kontekstualnya ialah; sedemikian mengerikannya kondisi orde baru, apakah masih relevan hari ini?
Dengan tegas saya jawab, masih!!! Terutama jika kita hubungannya pada praktik otonomi daerah. Lahirnya raja-raja kecil jadi tidak terhindarkan, mulai dari level gubernur hingga kepala desa. Mereka-mereka inilah yang punya resiko menggunakan kekuasaan laiknya masa orde baru. Tentu saja dengan menggunakan perangkat dan sumber daya yang dimiliki. Istilahnya, alat negara. Dengan mudahnya, orang atau kelompok akan diseret ke meja hijau jika menyinggung perasaan si raja-raja kecil tadi. Alih-alih ingin menciptakan ketertiban dan cipkon kondusif (stabilitas), ternyata perasaan si penguasa jadi prioritas. Apalagi jika si raja mudah bawa perasaan (baper).
Disinilah bagi saya letak kelemahan utama dari si raja-raja kecil tadi. Mereka yang menempati posisi karena suara pemilih ketika pesta demokrasi, justru dengan sengaja memerangkap pemilih ke jerat hukum. Selain lemah dari segi kepantasan, rapuhnya psikis jadi penyebab utama rusaknya ruh demokratisasi itu sendiri. Sialnya, rakyat atau masyarakat harus menunggu atau membutuhkan waktu hingga periodenya selesai untuk melakukan penghukuman. Itupun dengan catatan jika daya ingat sudah tidak pendek.
Saya kira belum terlambat untuk memperingatkan para raja-raja kecil yang mudah baper tadi. Saat mereka dilantik sebagai pemimpin, sebaiknya itu dimaknai sebagai proses penghibahan diri untuk rakyat dan masyarakatnya. Dari manapun dia berasal. Baik dari sipil atau militer. Jika tidak begitu, pemimpin tadi akan bertransformasi jadi penguasa yang zalim. Karena visi dan misi ketika kampanye seharusnya jadi mata kompas saat menjabat.
Semoga pribadi gubernur Maluku bukan penguasa yang zalim. Amin ya rabbalalamin.
Komentar
Posting Komentar